Senin, 15 April 2013

BAB 3 Perbandingan Masa Demokrasi Parlementer dan Terpimpin

BAB 3

Kesimpulan

Pada masa demokrasi parlementer, banyak terdapat kelompok-kelompok yang mementingkan kepentingan kelompok itu sendiri baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi. Selain itu pada masa ini juga terlalu banyak pergantian kabinet. Hal ini menyebabkan tidak efektifnya kinerja kabinet karena terlalu banyak perubahan rencana.
Pada masa demokrasi terpimpin, dari segi politiknya lebih terpimpin dan efektif. Hal ini dikarenakan tidak ada pergantian cabinet sehingga rancangan dapat berjalan. Dari segi ekonominya terjadi kemunduran meskipun awalnya telah dibenahi, tetapi harus mengalami kemunduran pada masa akhir demokrasi terpimpin.
Demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Demokrasi parlementer akan lebih baik apabila tidak terlalu banyak mengganti kabinet. Demokrasi terpimpin juga akan lebih baik apabila dapat menemukan langkah-langkah yang lebih efektif dalam menyelesaikan suatu masalah.

Saran

    Saran penulis bagi pembaca makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Bagi pemimpin atau calon pemimpin bangsa : agar tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang telah terjadi pada masa demokrasi parlementer maupun pada masa demokrasi terpimpin.
2.    Bagi rakyat Indonesia : agar terus mendukung pemerintah Negara Indonesia untuk memimpin Negara Indonesia dengan baik dan agar rakyat Indonesia terus mencintai Negara Indonesia.


Daftar Pustaka

Alfian, magdalia, dkk. 2003. Sejarah untuk SMA dan MA Kelas XI Program Ilmu
Pengetahuan Alam. Jakarta: Esis.
Asrinaldi. 2012. Politik Masyarak Miskin Kota. Yogyakarta: Gava Media.
Rahardjo. 2012. Pembangunan Pascamodernis Esai-Esai Ekonomi Politik. Yogyakarta :
    INSISTPress.

BAB 2 Perbandingan Masa Demokrasi Parlementer dan Terpimpin

BAB 2

Kehidupan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer;

Pada masa Demokrasi Parlementer Indonesia dipimpin oleh tujuh masa kabinet. Pada masa itu Demokrasi Parlementer sangatlah rentan. Hal ini dikarenakan kinerja tujuh kabinet tersebut kurang efektif dan sering mengalami jalan buntu. Pada masa demokrasi parlementer dibentuk konstituante untuk menyusun undang-undang baru akan tetapi mengalami hambatan dan ketidaksesuaian sehingga konstituante gagal menjalankan tugasnya. Kehidupan ekonomi pada masa demokrasi ini tidak berjalan mulus karena banyak masalah atau konfilk kepentingan politik dalam kubu konstituante. Ketujuh kabinet yang memimpin Indonesia pada masa demokrasi parlementer adalah

Kabinet Natsir (6 September 1950 - 18 April 1951)
Kegagalan : Perundingan dengan Belanda tentang masalah Irian Barat, mengakibatkan munculnya mosi tidak percaya pada kabinet Natsir di parlemen

Kabinet Sukiman (26 April 1951 – 1952)
Kegagalan : Penanganan masalah keamanan dalam negeri, memihaknya Indonesia kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security Act dengan pemerintah Amerika Serikat.

Kabinet Wilopo (19 Maret 1952 – 2 Juni 1953)
Kegagalan : Kabinet menghadapi berbagai hambatan dalam melaksanakan tugasnya sehingga melahirkan mosi tidak percaya dari kelompok oposisi pemerintah bernama Sarekat Tani Indonesia dan diakhiri dengan pengembalian mandate oleh Wilopo.

Kabinet Ali Sastroamidjojo I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955)
Kegagalan : Memperjuangkan Irian Barat ke dalam Negara Indonesia dan munculnya pemberontakan di berbagai daerah serta masih berlanjutnya konflik di tubuh Angkatan Darat, yaitu dengan mundurnya A. H. Hasutuin yang digantkan oleh Bambang Sugeng.

Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kegagalan : Terjadi banyak perseteruan antara para pemenang pemilu yang menyebabkan siding parlemen menjadi buntu.

Kabinet Ali Sastoamidjojo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
Kegagalan : Munculnya sentimen anti-Cina dalam masyarakat dan juga munculnya kekecewaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat serta tidak stabilnya kondisi pemerintah dengan banyaknya partai politik, dan munculnya gerakan separatis di berbagai daerah.

Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959)
Kegagalan : Terjadi banyak pemberontakan separatis di daerah-daerah.

Kelemahan kehidupan politik Indonesia pada masa demokrasi parlementer ditandai dengan gagalnya konstituante (sebuah lembaga yang dibentuk untuk membentuk UUD baru)  untuk membuat undang-undang yang baru bagi Indonesia. Pada masa awal kinerjanya, konstituante mempunyai masalah yaitu tidak ada kebulatan suara antar kelompok-kelompok di dalam konstituante. Maka dari itu konstituante yang seharusnya menyatu dan meremuskan sebuah UUD berubah menjadi perasaan saling mementingkan kepentingan kelompok sendiri.
Pada saat itu, terdapat tiga poros kekuatan partai politik utama yang menempati kursi konstituante dan pemerintahan, yaitu kekuatan partai Islam, kekuatan partai Nasionalis, dan kekuatan partai Komunis. Keegoisan setiap partai menyebabkan rancangan UUD selalu menemui jalan buntu. Selain keegoisan setiap kelompok terdapat juga beberapa peristiwa politik yang merembet pada konflik kepentingan masing-masing kelompok politik di tubuh konstituante dan juga adanya pengerahan massa untuk berdemonstrasi dan turun ke jalan dalam memperjuangkan isu dan kepentingan masing-masing.

Kehidupan Ekonomi Indonesia Di Masa Demokrasi Parlementer

     Satu perubahan kehidupan ekonomi yang terjadi adalah adanya proses nasionalisasi ekonomi yang dilakukan pemerintah. Proses nasionalisasi ekonomi menyangkut tiga bidang diantara lain adalah pembentukan Bank Negara Indonesia, nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, dan pemberlakuan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).
    Langkah lanjutan dari proses nasionalisasi de Javasche Bank adalah dikeluarkannya UU no. 24/1951 yang berisi tentang perlaksanaan nasionalisasi de Javasche menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
    Kekuatan kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi parlementer adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengajak rakyat Indonesia agar menabung di bank menjadi awal sehatnya kondisi perekonomian bangsa.
    Kelemahan kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi parlementer adalah proses nasionalisasi ekonomi Indonesia tidak berjalan mulus dikarenakan keegosian setiap golongan di dalam tubuh konstituante dan parlemen yang mementingkan kepentingan politik sendiri.

Dari Sistem Demokrasi Parlementer Menjadi Sistem Demokrasi Terpimpin

    Perpindahan sistem pemerintahan Indonesia dari masa Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin diwarnai oleh adanya potensi ancaman konflik internal dalam negeri. Beberapa hal yang menandai pergantian sistem demokrasi parlementer menjadi sistem demokrasi terpimpin adalah konstituante dibubarkan karena tidak berhasil membuat UU. Tidak berlakunya UUDS 1950, dan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai UUD resmi Negara Republik Indonesia serta pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo secepatnya dan juga pemberlakuan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini merupakan momen pergantian sistem demokrasi Indonesia dari demokrasi parlementer menjadi sistem demokrasi terpimpin.

Kehidupan Politik Indonesia Di Masa Demokrasi Terpimpin
 

Pada tanggal 10 Juli 1959, presiden Soekarno membentuk kabinet yang dinamakan Kabinet Kerja dimana ia sendiri yang bertindak sebagai perdana menteri kabinet tersebut dan mengangkat Ir. Djuanda sebagai wakil perdana menteri.
    Dalam demokrasi terpimpin, seluruh lembaga negara harus berasal dari aliran NASAKOM yaitu nasionalis, agama, dan komunis.
    Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 tentang pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menetapkan bahwa setiap anggota MPRS harus ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Soekarno sendiri dan mereka juga harus memenuhi syarat-syarat antar lain:

1.    Setuju kembali kepada UUD 1945
2.    Setuju pada perjuangan Republik Indonesia
3.    Setuju dengan Manifesto Politik
 
Selain itu, Presiden Soekarno juga membentuk badan lain yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perancang (DEPERNAS), dan Front Nasional.
Dalam sidang DPA pada September 1959, DPA mengusulkan bahwa pidato presiden pada upacara Peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus tahun 1959 dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan nama Manifesto Politik Republik (MANIPOL) untuk pemerintah.
Pada 5 Maret 1960, DPR yang merupakan hasil pemilihan umun dibubarkan dan digantikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada tanggal 24 Juni 1960.
Perkembangan politik saat itu menimbulkan reaksi dari kalangan partai-partai. Mereka menyatakan keberatan atas pembubaran DPR hasil pemilu 1955 dan akan menarik pencalonan anggota yang duduk dalam DPR-GR dan membentuk partai oposisi yang disebut Liga Demokrasi.
Selama periode demokrasi liberal dan terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha untuk menjadi gologan yang menerima Pancasila sebagai dasar negara RI. Tetapi itu merupakan sebuah taktik PKI untuk mengambil alih kekuasaan di Indonesia. NASAKOM yang seharusnya dimaksudkan untuk merangkul kekuatan-kekuatan politik ternyata justru menguntungkan PKI. Hal itu menyebabkan PKI semakin kuat kedudukannya, terbukti dari tindakan Presiden Soekarno yang menempatkan PKI di barisan depan.
Dalam perkembangan selanjutnya, MANIPOL detetapkan sebagai satu-satunya ajaran atau doktrin revolusi Indonesia. Fungsi Pancasila semakin lama semakin kabur dan situasi ini digunakan oleh PKI untuk semakin mengecilkan arti Pancasila.
 

Kehidupan Ekonomi Indonesia Di Masa Demokrasi Terpimpin

   Pada dasarnya perkembangan kehidupan perekonomian Indonesia di masa Demokrasi Terpimpin merupakan pengembangan dari rencana-rencana pembangunan yang telah disusun pada masa demokrasi parlementer. Prinsip kehidupan ekonomi Indonesia di masa demokrasi terpimpin adalah pemerintah melakukan konsep ekonomi terpimpin dengan tujuan mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia.
    Pada masa Kabinet Djuanda tahun 1958, pemerintah mengeluarkan sebuah UU tentang perencanaan untuk membentuk badan perekonomian yang bertugas untuk meningkatkan taraf ekonomi bangsa. Badan ini dinamakan Dewan Perancang Nasional dan mempunyai tugas antaar lain yaitu:
 
1.    Mempersiapkan rancangan UU Pembangunan Nasional Indonesia yang berencana dan bertahap.
2.    Mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan tersebut.
 
Pada tahun 1959, Indonesia mengalami tingkat inflasi yang sangat tinggi. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan perekonomian untuk menghadapi inflasi tersebut. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah antara lain adalah:
 
1.    Mengurangi jumlah peredaran uang dalam negeri
2.    Adanya pembekuan sebagian dari seluruh simpanan uang di bank-bank di seluruh Indonesia
3.    Uang kertas Rp 1000 dan Rp 500 masih berlaku dan telah dikonversi menjadi Rp 100 dan Rp 50 harus ditukar dengan uang kertas yang baru sebelum 1 Januari 1959
 
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut tidak bejalan begitu mulus dan mengalami beberapa kendala. Pemerintah membentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK) yang mempunyai tugas untuk menindaklanjuti dampak-dampak pelaksanaan kebijakan moneter di atas.
Kemunduran ekonomi terjadi pada Desember 1959. Hal itu terlihat dari meningginya kembali nilai peredaran uang rupiah dan adanya proyek mercusuar Ganefo.
 
Pada tahun 1963  Dewan Perancang Nasional berubah menjadi Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang mempunyai tugas untuk menyusun rencana perekonomian dan moneter jangka panjang tahunan.
 
Selain membentuk Bappenas, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan-kebijakan perekonomian untuk menangani krisis moneter. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain adalah:
 
1.    Menyediakan wadah bagi arus perputaran sirkulasi antarbank, baik bank sentral maupun bank umum.
2.    Pengeluaran uang rupiah baru yang nilainya 1000 kali lipat dari uang rupiah lama. Hal ini mengakibatkan  kemunduran ekonomi dan moneter Indonesia
 
Kebijakan-kebijakan perekonomian yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa Demokrasi Terpimpin memiliki pertentangan dengan kebijakan dan peraturan peraturan lain yang dikeluarkan oleh presiden. Kondisi perekonomian Indonesia semakin menunjukkan kemunduran hingga tahun 1966 karena adanya kewenangan presiden dalam membuat peraturan lain yang setingkat dengan UU.

BAB 1 Perbandingan Masa Demokrasi Parlementer dan Terpimpin

BAB 1

Latar belakang
            Seperti yang kita ketahui politik merupakan salah satu hal yang penting bagi pertumbuhan sebuah negara. Sebuah negara yang memiliki politik yang bagus dan jujur tentu masyarakatnya akan hidup dengan lebih teratur dan merasa aman karena ada perlindungan dari pemerintah dan hukum apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hal ini dapat dilihat dari negara tetangga kita yaitu Singapura yang rakyatnya hidup dengan sangat teratur dan merasa aman. Kemiskinan masyarakat timbul karena tidak antisipatifnya pemerintah ketika mengimplementasi suatu kebijakan (Asrinaldi, 2012)
Sama halnya dengan politik, ekonomi juga merupakan salah satu hal yang penting bagi pertumbuhan sebuah negara, jika ekonomi sebuah negara bagus, tentu saja negara itu akan semakin lama semakin berkembang yang secara tidak langsung berdampak pada kehidupan masyarakat negara tersebut. Amerika Serikat contohnya, tentu saja kita semua mengetahui Amerika Serikat merupakan negara yang sangat meguasai pasar internasional. Hal ini dapat dilihat dari mata uang negara Amerika Serikat yaitu dollar, merupakan salah satu mata uang dengan nilai tukar yang paling besar. Mengapa demikian? Karena Amerika Serikat dapat menata perekonomian mereka dengan sangat baik. Bukan saja menguasai pasar international, tetapi juga berdampak pada kehidupan masyarakat negara tersebut seperti apa yang telah penulis sampaikan. Sebuah negara dengan perekonomian yang bagus, akan memiliki masyarakat yang hidup dengan sejahtera dan berkecukupan.
Bagaimana dengan Indonesia sistem demokrasi poltik dan ekonomi Indonesia? Indonesia pernah mengalami dua sistem demokrasi yang berbeda yaitu demokrasi parlementer dan juga sistem demokrasi terpimpin. Sistem demokrasi parlementer merupakan sistem dimana Indonesia dimpimpin oleh tujuh masa cabinet, sedangkan demokrasi termpimpin adalah sistem dimana Indonesia dimpim oleh seorang presiden dan membentuk kabinet kerja. Hal ini merupakan dasar mengapa penulis mengangkat tema Perbandingan politik dan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi parlementer dan terpimpin. 


Tujuan masalah
Penulis memiliki beberapa tujuan dalam menulis makalah ini, antara lain mengetahui perbedaan sistem ekonomi dan politik pada masa demokrasi parlementer dan terpimpin dan apa saja kelemahan dan kekuat sistem ekonomi dan politik pada masa demokrasi parlementer dan terpimpin. Selain itu penulis juga ingin mengetahui mengapa diperlukan perubahaan sistem demokrasi dari masa parlementer menjadi sistem demokrasi terpimpin.


Manfaat
            Makalah ini bermanfaat bagi para siswa untuk membandingkan cara kerja Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Manfaat yang didapat bagi pemimpin bangsa untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Parlementer.